Otoritas Daerah Online

Membangun Daerah Membangun Bangsa

Selasa, 18 Agustus 2009

era OTDA Perempuan dan Kesusilaan






Hampir di semua daerah penelitian, Perda yang mengatur tentang kesusilaan muncul. Misalnya, Perda No. 10 Tahun 2001 (Sukabumi), Perda No. 1 Tahun 2000 (Tasikmalaya), Perda No. 2 Tahun 2002 (Bali), Perda No. 11 Tahun 2001 (Solok), dan Perda No. 39 Tahun 1999 (Kupang).

Rumusan Perda-Perda tersebut, meskipun bersifat netral gender, akan tetapi pada praktiknya cenderung ditujukan pada perempuan. Misalnya, Perda No. 10 Tahun 2001 tentang Pelarangan Pelacuran yang dibuat di Sukabumi pada bab I pasal 1 ayat (4) tentang definisi pelacuran ataupun Perda No. 1 Tahun 2000 di Tasikmalaya bab I pasal 4 berikut: ”Siapapun yang kelakuannya dapat diidentifikasi bahwa ia pelacur, dilarang ada di jalan-jalan umum, di lapang-lapangan, di rumah penginapan, hotel, losmen,... berhenti atau berjalan kaki atau berkendaraan kian kemari.”

Hal senada diungkap dalam Perda No. 2 Tahun 2002 bab I pasal 1 di Bali berikut ini: “Pelacuran adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang baik perempuan maupun laki-laki, yang dengan sengaja menjajakan diri” Hal serupa pun diungkap oleh Perda No. 39 tahun 1999 pasal 1 butir (e) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Kupang berikut ini.” Pelacuran adalah perilaku hubungan seksual yang dilakukan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki atau lebih dengan siapa saja yang membutuhkan pemuasan keinginan seksual dengan imbalan pembayaran”.

Rumusan definisi pelacuran yang tertuang dalam Perda-Perda di atas terlihat netral gender. Akan tetapi dalam praktik pelarangan pelacuran, perempuan senantiasa yang menjadi objek sasaran sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa harian surat kabar: “10 Sengseong Kota Sukabumi Masuk Panti Rehabilitasi WTS Cibadak” (Pakuan, 17-19/11/2001, h.1-3), “28 WTS Dijaring Petugas” (Pakuan, 13-14/9/2001, h. 4) Kedua berita itu diperkuat oleh NTB Post (4/2/2002, h. 3) dengan judul “Polra Siap Amankan WTS dan Kericuhan Lingkup Pemkab.” Ketiga berita itu menunjukkan bahwa wanita tuna susila (WTS) merupakan objek dari Perda kesusilaan, sedangkan lelaki tuna susila (LTS) tidak dianggap demikian. Hal yang berbeda dijumpai di Kupang, yang menjadi sasaran razia bukan hanya WTS, akan tetapi PLS juga, sebagaimana ditunjukkan oleh berita berikut ini. Lombok Post (12/9/2002, edisi 546 thn ll h. 7), dengan judul “Tiga WTS dan Satu Hidung Belang Terjaring Razia Porpra Lobar”. Hal itu diperkuat oleh Lombok Post (12/9/2002, edisi 546 thn ll h. 5), dengan judul “Pol PP Lobar Garuk Wanita Penghibur”. Meskipun judulnya seolah-olah hanya wanita saja yang diciduk keamanan, akan tetapi dalam isi berita diungkap pula bahwa lelaki hidung belang pun ikut dirazia. Berikut adalah kutipan dari harian tersebut, “Tim buser (Buru Sergap) penertiban Pol-PP (Polisi Pamong Praja) Lombok Barat Selasa malam (10/9) berhasil menggaruk 3 orang wanita penghibur dan seorang lelaki, AM di kawasan wisata Melase, Senggigi Lombok Barat.” Sekilas, LTS tidak menjadi judul berita bukan merupakan persoalan. Padahal, hal itu menunjukkan adanya hegemoni budaya yang dimediasi oleh bahasa yang maskulin. Mengapa hal itu bisa terjadi? Persoalan tersebut akan dibahas dalam uraian selanjutnya.

Di samping kemunculan berita tentang WTS yang menjadi objek razia, hadir pula berita-berita yang resisten terhadap persoalan itu. Misalnya ditunjukkan oleh berita-berita berikut ini: Pakuan (26-27/10/2001, h. 8-9), menurunkan judul “Ibu-ibu Sukabumi Minta Tutup Tempat Maksiat”. Dalam tulisan itu dimuat ungkapan menarik sebagaimana diungkap Ny. Yulia Dadang, yang sangat menyesalkan tindakan aparat yang diskriminatif setiap penggerebekan lebih diarahkan pada para penjaja cinta (perempuan), padahal di lokasi ada LTS. Hal itu diperkuat oleh Pakuan (25-27/8/2001, h. 11) dengan judul, “Sisi lain Sukabumi Di Waktu Malam ‘Wanita Malam’ Makin Marak”. Dalam berita itu disitir ungkapan K.H. Aluh mengatakan bahwa menurut Al-qur’an pembinaan dititik-beratkan kepada kaum laki-laki karena tidak disadari ikut mendorong munculnya gejala ini. Hal serupa pun terjadi di Lombok, seperti dimuat dalam Lombok Post (18/10/2002, h. 3) dengan judul “LBH APIK Tolak Perda Anti Maksiat”.//http://wri.or.id