Otoritas Daerah Online

Membangun Daerah Membangun Bangsa

Rabu, 10 Juni 2009

Prof DR Dr Demin Shen menjawab



Bincang Ekslusif
Prof.Dr. Demin Shen,M.Kes.Facs, FRCSC.
Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Jawa Barat
Ketua Yayasan Kemanusiaan, Bandung, Jawa Barat.



Ada tanggapan tentang kasus Prita dan RS OMNI Internasional, dok?

Tidak, itu urusan internal mereka. Namun, logikanya Rumah-sakit/puskesmas/klinik harus melayani secara maksimal pasiennya karena memang datang untuk itu. Bukan melayani atau orientasinya untuk dokter atau mantri atau perawat. Di sini (RS Rajawali), jika ada hal semacam itu yang saya tegur pasti dokter atau perawatnya, apapun masalahnya. Quality services, that’s all..
Malu kita telah membangun ini dengan jerih-payah, lalu hancur karena masalah perang opini, begitu dahsyat peran media mas disini, dalam sekejap ..‘boom…musnah.

Evaluasi dokter terhadap dunia medis/kesehatan kita?

Tidak ada kemajuan,kalaupun reformasi telah berjalan hamper 11 tahun. Belum berpihak kepada sesuatu yg wajar, malah terkesan mengada-ada. Contohnya, demikian sulitnya kita mendapatkan dokter spesialis dinegara ini. Karena, biaya pendidikannya demikian besar , ini bisa mencapai Rp.500 juta, dokter mana yang mampu bayar. Maka wajar saja jika banyak pasien kita yang lari ke luar-negeri. Kalaupun ada, mereka itu dibatasi, diikat tangannya hanya boleh di maks.3 RS. Dimana keadilannya, jika peraturan itu malah merugikan bangsa ini sendiri.

Apa inti dari UU No.29/2004 dok?

Begini ya, sebelum UU ini lahir memang banyak Dokter praktik di banyak tempat. Sekarang, pemerintah membatasi tempat praktik dokter dan dokter gigi sesuai Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bahwa ijin praktek hanya diberikan kepada seorang dokter maksimal di 3 tempat. . Pemerintah merasa dengan UU ini agar para dokter bisa memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pasien mereka sehingga kemungkinan terjadinya malapraktik bisa dicegah.
Padahal tidak harus demikian, memangnya berapa jumlah dokter di Negara ini, bandingkan dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 220 juta. Sehingga pelayanan terkesan ‘asal-asalan’, masalah mal-praktek, itu tergantung manusianya dong, tergantung dokternya. Toh kan ada sangsi dan hukumnya.., ada kode etik, ada dewan

Tanggapan anda tentang maraknya Dokter asing mulai masuk Indonesia?

Iya saya tahu, mereka banyak dari India, China dan Australia..praktek dihotel dan tempat tersembunyi lainnya. Kita lemah pengawasan dalam hal ini, karena jika terjadi penipuan atau apapun siapa yang mampu menjerat mereka?, Kalaupun belum ada data akurat,namun saya yakin mereka sudah merambah dikota dan daerah lain yang terpencil lalu bagaimana nasib dari dokter local kita?, You tahu juga kan, masih banyak masyarakat kita yg foreigner-minded; asal bule, asal asing mereka pasti dating, begitu juga dengan dokter asing.Mereka akan lebih cepat popular, hya kan?

Sudah demikian parahnya kita dok?

Ya begitulah, namun ada ceritra sedikit nih ya, suatu hari ada keluarga Indonesia yg berobat ke RS Singapore, mereka mau bertemu dengan dokter ahli bidang Radiasi Nuklir penyakit thyroid-nya, mereka merasa lebih ‘sreg di RS Asing, Namun apa kata dokter disana, “Anda seharusnya tidak perlu kesini, karena di Bandung pun ada dokter local yang memang pakar bidang Radionuklir ternama di Asia…Hahahaha…ini anekdot yang mungkin juga realita.

Dok,dibeberapa kampus kedokteran, biaya kuliahnya hingga Rp.150-200 juta untuk mendapat gelar dokter, kok sebegitu mahalnya?

Ya lah, krn memang tidak disubsidi pemerintah. Kita ini memang bangsa yang serba-salah, SDM mau maju, mau baik, mau professional…biaya pendidikan tinggi, subsidi pemerintah untuk biaya pendidikan lebih murah dari biaya Pilpres 2009 satu putaran yang mencapai Rp.4 triliun, sedangkan biaya pendidikan hanya 20% dari APBN. (Red: Rp.210 triliun dari Rp.1.203 Triliun. Kalaupun telah mencapai hamper 20%, namun bandingkan dengan subsidi BBM dan listrik sekitar Rp 290 triliun.
You coba perhatikan UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari APBD.". Ini kan produk thn.2003 nyatanya , thn.2003 hanya Rp 14 triliun (4,9%). Tahun 2004,Rp.21,5 Triliun (6,6%) , Tahun 2005 hanya 8%...jadi pemerintah senang-nya ‘nyicil, padahal kalo focus dan amanah banyak hal yang telah kita lakukan sejak 6 tahun lalu dibidang pendidikan..

Untuk biaya kesehatan idealnya di berapa dok?

Jika mengacu pada standar kesehatan World Health Organization (WHO) yang menetapkan 15% dari APBN, paling tidak jika APBN 2009 lebih Rp 1,000 triliun maka anggaran kesehatan mestinya sebesar Rp 150 triliun. Namun, tahun 2009 meskipun telah dinaikkan 3 kali lipat anggaran sektor kesehata hanya sebesar 2.64% atau sekitar Rp 18,8 triliun. Itu pun 54,1% nya untuk biaya pembelian obat dan alat

Dok, Pilpres 2009-2014 menjelang, inikah demokratisasi kita?

Ya,tapi dimana-mana demokrasi itu identik dengan uang. Jadi tanpa uang, bohong itu demokrasi. Obama menang karena dibiayai banyak orang;Oprah winvre, Michael Jackson, dana para pengusaha lainnya. Namun mereka bersih, uang halal. Nah, yg kita pertanyakan dan belum dikupas secara transparan kepada rakyat adalah asal muasal dana kampanye mereka itu darimana?, darimana kekayaan mereka itu?

Dok, JK pernah menyebutkan bahwa biaya ekonomi demokrasi kita bisa mencapai Rp 300 trilyun, bagaimana hitungannya dok?
Simpel, you hitung saja ada berapa capres/wapres X @Rp.10 M, 33 Pilkada Gubernur Rp.500 M, 1500 Pilkada Bupati & Walikota Rp.5 Milyar, 550 DPRRI @Rp. 2 M X 20.000 calon, 550 DPD @Rp. 1 M X 3000 calon, 12.000 DPRD @Rp. 500 juta, 65.000 Pilkada Kades/Lurah @ Rp.250 juta.
Padahal dengan nilai Rp.300 Triliun ini jika dipakai untuk untuk mendidik seorang menjadi PhD atau Doktor akan melahirkan 614.300 Doktor kalau Dalam Negeri dan 307.150 orang kalau sekolah dri Luar negeri. Kalau untuk Master bisa mencapai tiga sampai empat kali lipat dari jumlah itu. Jika orang orang ini kita miliki pasti akan meningkatkan proses demokratisasi di Indonesia. Ini hitungan ekstrim ya...tetapi ini analisis seorang Prof. Sofyan Syafri Harahap – Trisakti, Jakarta yang kalau kita amati memang benar, excelent. ...(@rief/Corny R,SH)