Otoritas Daerah Online

Membangun Daerah Membangun Bangsa

Selasa, 27 Januari 2009

KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS,SEBUAH PEMBELAJARAN



KONVERSI MINYAK TANAH KE BAHAN BAKAR GAS:
”...Siapa yang salah, dan siapa yang tidak betul?...”

Sku.OTDA/Laput;
Entah dosa apa republic ini, sehingga hampir seluruh Presiden yang pernah menjabat maupun yang sedang menjabat, jika sudah dihadapkan kepada masalah Subsidi enerji; BBM maupun listrik. Seolah monster yang dapat menelan setiap saat pamor dan jabatannya. Namun ada juga yang ‘bermain’ disitu untuk kosumsi politik dan pencitraan. Jadi ibarat bahasa REPUBLIK MIMPI, ada presiden tetangga yang menjadikan ‘derita rakyat ini sebagai ‘dolanan (main-main), apapun cabinet tetangga tersebut tidak mempunyai format yang pas dan tepat dalam menyelesaikan masalah BBM. Kalaupun rakyat tidak bereaksi, bukan berarti mereka diam, mereka malah prihatin apalagi setelah kemudian ini dijadikan ‘jargon iklan kampanye partai ybs.

Presiden dan seluruh pembantu-pembantunya (pemerintah) demikian ‘pasang badan, kalaupun setengah-hati. Kalkulator tidak pernah lepas dari tangan mereka, menghitung terus detik demi detik, hingga dirasa aman; RAPBN adalah produk kolektif apapun resikonya; Karena itulah, pemerintah bersama DPR telah bersepakat untuk menghapuskan subsidi BBM secara bertahap seperti tertuang dalam UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Namun, subsidi minyak tanah (mitan) dikecualikan. Dengan kata lain, meski telah menerapkan harga pasar untuk bensin dan solar, pemerintah masih mensubsidi minyak tanah untuk keperluan masyarakat berpendapatan rendah dan industri kecil.Disini kesalahannya?, belum tentu juga.
Yang jelas terori mereka, beda dengan dilapangan. Apapun namanya, toh yang menjerit tetap rakyat; petani, nelayan, buruh, dan kelompok pinggirian lain.Bukan mereka yang berdasi dan bersedan AC. Jika , berimbas kepada industri, namun pemilik modal tinggal ‘menutup’ saja usahanya, entengkan?. PHK terjadi. Pengangguran pun bertambah. Namun bagi rakyat, maju kena mundur kena, imbasnya adalah kekecewaan.

Parahnya lagi, konon karena harga minyak dunia mencapai US.$.40-70/barel. Maka seakan berlomba dengan entah apa yang dilombakan, meluncurlah kebijakan konversi itu, dengan satu tujuan; melakukan konversi penggunaan minyak tanah (mitan) kepada bahan bakar gas dalam bentuk Liquefied Petroleum Gas (LPG). Memang langkah brilian, namun belum tentu berlian. Pemerintah telah berani menelan pil pahit dan memaksakan kehendak. Kurang sosialisasi hingga level terendah. Akibatnya, membuat repot semua. Ya premiumnya langka, ya minyak tanahnya, ....ya juga elpijinya. Lengkap sudah derita kita.

Demikian dengan Premium, sejak tgl.31 Desember lalu, banyak SPBU yang tutup karena tidak adanya pasokan dari Pertamina. Mereka konon sedang mencoba ’mainan’ baru dalam sistemnya, namun yang rugi adalah rakyat. Mereka tidak peka dan tanggap, makanya wajar jika SBY ’melotot, dan menuding Pertamina ’excused.

Minyak tanah, listrik, BBM ....satu rangkaian monster jika tidak tepat waktu dan kondisinya. Selain timbul kekecewaan, juga akan muncul ketidak-percayaan terhadap pemerintah.Dan ini selalu terjadi & berulang-kali. Kini pertanyaannya, bagaimana kita merasakan derita rakyat jika kita selalu duduk dalam mobil ber-AC.

Lucunya, konversi pun kemudian menjadi bisnis/tender kompor. Saling sikut dan saling jegal, dari papan yang teratas hingga distributor tingkat RT. Konon, niat konversi ini adalah ’mengkonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kepada penggunaan 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 mendatang, dan telah dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007.

Sayangnya, rencana konversi kepada LPG ini terasa mendadak dan tidak terencana secara komprehensif. Tak heran berbagai masalah dalam pelaksanaannya muncul seakan tiada henti. Mulai dari ribut-ribut tender kompor gas yang dilakukan oleh Kantor Menteri Koperasi dan UKM, belum jelasnya sumber pendanaan dan besarnya subsidi yang mencapai ratusan milyar Rupiah, rendahnya sosialisasi kepada masyarakat yang justru sedang giat-giatnya memproduksi kompor murah berbahan bakar briket sesuai program pemerintah sebelumnya, ketidaksiapan infrastruktur seperti stasiun pengisian dan depot LPG, hingga kaburnya kriteria pemilihan lokasi uji coba dan kelompok masyarakat penerima kompor dan tabung gas gratis.

Belum habis berbagai kontroveri tersebut, muncul pula masalah lain dalam proses tender kompor gas. Yaitu adanya aturan baru dimana kompor gas harus memiliki dua tungku. Padahal peserta tender sebelumnya telah mengantisipasi dan diminta menyiapkan penawaran hanya satu tungku sesuai aturan dari Departemen Perindustrian. Mana yang benar, mana betul?

Mahalnya solar memaksa nelayan memodifikasi ribuan mesin kapal agar tetap bisa dioplos dengan minyak tanah supaya ekonomis, meski harus mengganti beberapa onderdil secara berkala. Sedangkan bagi rakyat pengguna transportasi sungai, mesin tempel perahu mereka juga harus direkayasa agar bisa menggunakan minyak tanah yang lebih murah. Meski secara ekonomi terjadi pengurangan subsidi untuk bensin dan solar, namun secara nasional penggunaan dan permintaan minyak tanah bukannya menurun.
Lalu siapa yang benar, siapa yang betul?; Siapa yang salah, dan siapa yang tidak betul?; Departemen ESDM, PT. Pertamina, Kementerian Koperasi dan UKM , BPH Migas, Depertemen Perindustrian, Badan Usaha (swasta), LSM, Pemerintah Daerah atau Rakyat?. ’Itulah repotnya, semua merasa paling benar...(@rief/Pemred/Asep/foto.ist)

Tidak ada komentar: